Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Diplomasi Ekonomi Indonesia: Perundingan Hutang

Penyederhanaan sistem kurs dan mekanisme perdagangan tidak serta-merta sanggup meningkatkan ekspor dan devisa. Untuk menyelematkan situasi pada 196 diharapkan langkah yang sanggup segera menyelamatkan situasi pada 1966 diharapkan langkah yang sanggup segera meringankan ketimpangan antara kebutuhan dan ketersidaan devisa. Oleh alasannya yakni itu, jalur kedua yang dilakukan yakni melaksanakan diplomasi intensif untuk memperoleh penjadwalan utang dan sekaligus mendapatkan pinjaman darurat/baru semoga impor untuk memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi dalam negeri sanggup segera terpenuhi.

Langkah diplomasi utang ini bekerjsama sudah dimulai semenjak Mei 1966. Meskipun beberapa kali sudah diadakan pertemuan dengan para kreditur, kemajuan yang berarti gres dicapai sesudah Indonesia merumuskan taktik stabilitasi ekonomi yang komrehensif dengan pemberian teknis dari IMF,yaitu Paket Stabilitasi Oktober 1966. Setelah beberapa kali pertemuan awal, risikonya usulan Indonesia dibawah ke Paris Club (forum memfasilitasi penjadwalan kembali utang-utanng pemerintah dengan pemerintah-pemerintah lain) pada Desember 1966 yang menyetujui penundaan pembayaran pokok dan bunga hingga 1971 dan jumlah yang ditunda ini akan dibayar dalam 8 kali cicilan tahunan.

Dengan dicapainya komitmen Paris Club itu, pintu terbuka bagi Indonesia untuk memperoleh pinjaman gres dengan bunga yang lebih lunak. Dalam pertemuan dengan para kreditr di Amsterdam (Februari 1967), kemudian di Den Haag (April 1967), dan selanjutnya di Schveningen (Juni 1967), para kreditur sepakata untuk memperlihatkan komitmen 3 bentuk pinjaman: pinjaman tunai (pinjaman program) gres sebesar $187.5 juta untuk menolong neraca pembayaran tahun 1967 serta sejumlah pinjaman untuk membiayai pembangunan proyek (pinjama proyek) dan pemberian dalam bentuk barang, menyerupai pangan, kapas, dan sejumlah komoditi lain (pinjaman komoditas). Pertemuan ini yakni muasal dari lembaga yang kemudian dikenal sebagai Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang berlangsung setiap tahunnya untuk dasawarsa kemudian. Sebagia catatan, pada 1990 IGGI dilarang dan dilanjutkan dengan lembaga serupa yang kurang lebih sama.

Diplomasi penjadwalan utang mencapai keberhasilan besar pada pada April 1970 dikala para kreditur Indonesia di Paris Club mendapatkan usulan dari bankir terkemuka Jerman, Dr.Hermann Abs, yang sebelumnya diminta oleh Paris Club dan didukung Indonesia untuk mempelajari kemampuan Indoneesia membayar kembali utangnya dalam jangka menengah. Dari hasil studinya, Abs mengusulkan semoga Indonesia diberi dispensasi penundaaan pembayaran bunga dan pokok dari utang lamanya (yang dipinjam sebelum 1966) selama 30 tahun dan pembayaran bunga selama 15 tahun. Kesepakatan ini sangat meringankan Indonesia dalam mengelola ekonominya dalam jangka menengah.

Ringkasnya, diplomasi ekonomi Indonesia berhasil dilaksanakan di 2 lembaga utama: melalui Paris Club, beban pembayaran utang sanggup diperingan; dan melalui IGGI, pinjaman lunak gres sanggup diperoleh. Dengan keberhasilan diplomasi itu, Indonesia sanggup mengatasi problem pembiayaan jadwal stabilitasasinya dan selanjutnya juga jadwal pembangunan ekonomi (Repelita I mulai 1969). Peristiwa sejarah selanjutnya pertanda bahwa pembagunan makin dipermudah dengan terjadinya kenaikan harga minya (oil boom) mulai 1973.

oleh: Prof. Dr. Boediono dalam buku Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah

Sumber https://www.gu-buk.net

Posting Komentar untuk "Diplomasi Ekonomi Indonesia: Perundingan Hutang"