Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kaum Moderat Indonesia : Petisi Soetardjo Untuk Indonesia Ber-Parlemen

Ilustrasi : Sidang Volksraad 
Petisi ini diajukan alasannya ialah makin meningkatnya parameter ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan akhir kecerdikan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh I.J Kasimo,G.S.S.J Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong
Isi petisi ialah permohonan supaya diselenggarakan " suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama ". Tujuannya ialah " untuk menyusun suatu rencana pinjaman kepada indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar kerajaan belanda laksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawarahan ". Usul yang dianggap menyimpang dari keinginan kalangan pergerakan yang mengambil jalan yang radikal dan konservatif, petisi ini menerima reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.
Pers Belanda, menyerupai Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu: " Permainan yang berbahaya ", revolusioner belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Golongan reaksioner Belanda, menyerupai Vaderlandsche Club beropini Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri dengan keadaanya yang masih rentan dan ringkih untuk menjankan pemerintahan yang otonom. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia-Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang memiliki maksud untuk selalu meningkatkan perananan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan hingga rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa anggota Volksraad beropini bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak memiliki kekuatan. Pers Indonesia menyerupai Surat Kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi. Oleh alasannya ialah itu usul petisi dengari cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.

Menurut Harian Pemandangan dikala usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu dikala akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda. Pada sidang Volksraad. Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936.
Pada tanggal 29 September 1936 simpulan sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan bunyi dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan bunyi 26 bunyi baiklah lawan 20 bunyi menolak. Dan pada tanggal1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.

Mas Sutardjo Kertohadikusumo

Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju " Indonesia berdiri sendiri ".
Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga memiliki perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi alasannya ialah usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini kembali banyak menjadikan jawaban dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI),Roekoen Pelajar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik  Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII),PNI dan sebagainya.
Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tardja secara kurang jelas telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan (berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan tiba ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.

Ratu Wilhemina (1880-1962)
Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Wihelmina. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri".
Sutarjo Suryo hadikusumo  ( Wakil Persatuan Pegawai Bestuur) dalam Volksraad ( dewan rakyat ) pada tanggal 15 Juli 1936 mengajukan usul yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutarjo. Petisi tersebut berisi ajakan kepada pemerintah Belanda supaya diselenggarakan musyawarah antara wakil Belanda dan wakil rakyat Indonesia untuk suatu perubahan dalam waktu 10 tahun mendatang dengan memberikan status otonomi kepada rakyat indonesia dalam lingkungan kerajaan Belanda. 
Sebelum Indonesia sanggup berdiri-sendiri Sutarjo mengusulkan langkah-langkah :
1. Volksraad dijadikan dewan legislatif sesungguhnya.
2. Direktur Departemen diberikan tanggung jawab.
3. Dibentuk dewan Kerajaan (Rijksraat ) sebagai tubuh tertinggi antara Belanda  dan Indonesia yang  anggota-anggotanya merupakan wakil-keduabelah pihak.
4. Penduduk Indonesia ialah orang-orang yang alasannya ialah kelahirannya  asal-usul,cita-cita nya memihak    Indonesi
Menanggapi Petisi Sutarjo ini pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Visman yang diberi kiprah untuk menggali aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia ke depannya. Pada hakekatnya komisi Visman hanya dipakai untuk memuaskan rakyat Indonesia mengenai keberadaannya di kemudian hari dan tidak sungguh-sungguh memihak pada rakyat . Komisi Visman tidak menghasilkan apa-apa dan tidak merubah keadaan Indonesia
Langkah-langkah gres dalam pergerakan nasional perlu dilakukan alasannya ialah terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan nonkoperatif terperinci tidak menerima jalan, dan harus ada dibawah persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Oleh alasannya ialah itu, masih ada jalan untuk meneruskan usaha lewat dewan rakyat. Partai-partai politik masih ada janji untuk melaksanakan agresi bersama, sehingga muncul apa yang dikenal sebagai petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia Belanda supaya diadakan konferensi kerajaan Belanda yang membahas status politik Hindia Belanda. Ia menginginkan kejelasan status politik Hindia Belanda dalam 10 tahun mendatang yang berupa status otonomi, meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar kerajaan Belanda. Hal ini dimaksudkan supaya tercapai kolaborasi yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam memilih kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan kooperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat.
Petisi yang ditandatangani I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong sanggup dipandang sebagai upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para nasionalis. Berbagai pihak memperlihatkan kritik. Sebagian menyampaikan bahwa penganjur petisi itu tidak ada bedanya dengan peminta-peminta yang minta dikasihani, sedangkan yang lain menyampaikan petisi itu mengurangi usaha otonomi. Pada umumnya pihak Belanda menolak petisi itu mengurangi usaha otonomi. Pada umumnya pihak Belanda menolak petisi itu dan Vaderlandse Club (VC) menganggap hal itu terlalu prematur. Partai Kristen, Partai Katolik, dan kaum Indo berpandangan bahwa petisi tersebut diajukan pada dikala yang tidak tepat, alasannya ialah masalah-masalah lain yang lebih besar dan sedang dihadapi.
Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih banyak menyetujui petisi itu, tetapi pemerintah menganggap masih terlalu prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. dengan kata lain, pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang dianggap membuka peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial.
Makin majunya tuntutan para nasionalis moderat menandakan runtuhnya politik etis yang selalu didambakan, alasannya ialah pemerintah masih memegang berpengaruh paternalismenya dan tidak berniat baik dalam memperlihatkan kebebasan hakiki, sehingga sanggup diramalkan bahwa petisi sutarjo itu tidak akan berhasil. Para nasionalis sendiri menganggap bahwa petisi harus disebarluaskan ke tengah masyarakat. Pada tahun 1938 banyak diselenggarakan rapat untuk mendukung petisi itu. Rapat-rapat itu merupakan suatu usaha gigih yang dilakukan para nasionalis waktu itu salah satu runtut dari petisi ini ialah di bentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) ialah suatu organisasi payung dari partai-partai dan organisasi-organisasi politik. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta dengan tuntuta "Indonesia Berparlemen " .

Sumber : Pengantar Sejarah Indonesia, Sartono Kartodirjo
Editor : Imam Maulana Al Fatih                                     


Sumber https://www.gu-buk.net

Posting Komentar untuk "Kaum Moderat Indonesia : Petisi Soetardjo Untuk Indonesia Ber-Parlemen"