Politik Kolonial Kala 19 M
A. Daendels(1808 - 1811)
Pasca VOC dibubarkan tahun 1799 Indonesia diambil alih oleh pemerinatah Belanda yang pada waktu itu sedang dikuasai oleh Perancis dan sekaligus dikirimkan seseorang yang berjulukan Herman William Daendels untuk berkuasa sebagai Gubernur Jendral Indonesia (Hindia Belanda). Kebijakan yang dikeluarkan Daendels berorientas kepada upaya mempertahan Pulau Jawa dari bahaya serangan Inggris.
a. Kebijakan Daendels di bidang politik ditunjukan untuk menghapuskan feodalisme dengan adanya hal-hal berikut:
Pasca VOC dibubarkan tahun 1799 Indonesia diambil alih oleh pemerinatah Belanda yang pada waktu itu sedang dikuasai oleh Perancis dan sekaligus dikirimkan seseorang yang berjulukan Herman William Daendels untuk berkuasa sebagai Gubernur Jendral Indonesia (Hindia Belanda). Kebijakan yang dikeluarkan Daendels berorientas kepada upaya mempertahan Pulau Jawa dari bahaya serangan Inggris.
a. Kebijakan Daendels di bidang politik ditunjukan untuk menghapuskan feodalisme dengan adanya hal-hal berikut:
- Membagi Jawa menjadi 9 perfektur(daerah)
- Menjadikan Batavia sebagai sentra pemerintahan
- Menjadikan para penguasa pribumi menyerupai bupati dan darah biru sebagai pegawai pemerintahan Belanda
- Membentuk pengadilan keliling bagi orang pribumi
- Menjadikan kesultanan Banten dan Cirebon sebagai bab dari guberneman Belanda
- Melakukan penyederhanaan banyak sekali upacara di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
b. Kebijakan Daendels di bidang pertahanan
- Menambah jumlah prajurit dikalangan pribumi
- Membangun benteng-benteng pertahanan, pangakalan kapal, kapal-kapal baru, dan pabrik senjata di Batavua dan Surakarta
- Membangun jalan raya pos(Grote Potweg) dari Anyer ke Panarukan untuk memudahkan mobilitas pasukan
- membentuk Legiun Mangkunegraan
- memberikan jabatan militer kepada para pejabat pribumi
Upaya Daendels untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris mengalami kegagalan, alasannya yaitu pada tahun 1811, sehabis Daendels digantikan oleh Yansen, Pulau Jawa berhasil direbut oleh Inggris. Setelah itu pemerintah inggris melaksanakan beberapa keputusan yaitu mengutus Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan mengadakan perjanjian(Kapitulasi Tuntang), yang isinya adalah.:
a. Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di Luar Jawa menjadi bab dari kekuasaan Inggris.
b. Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris
c. Orang-orang Belanda sanggup diperkejakan dalam pemerintahan Inggris
(Soal dan Pembahasan Politik kolonial barat klik disini)
B. Raffles(1811-1816)
Setelah Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jendral di Jawa, ia melaksanakan banyak sekali perombakan bidang politik dan ekonomi. Kebijakan Raffles ini masih mengacu kepada upaya untuk menghapuskan segala sesuatu yang bersifat feodalistis, dan melaksanakan sistem liberal, sama menyerupai yang dilakukan oleh pendahulunya, Daendels. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Raffles antara lain:(Soal dan Pembahasan Politik kolonial barat klik disini)
B. Raffles(1811-1816)
- Membagi Jawa menjadi 18 karesidenan
- Para Bupati diangkat menjadi pegawai negeri
- Mengadakan Landrente (Sistem Sewa Tanah)
Landasan Sistem Sewa Tanah
1. Penghapusan segala bentuk penyerahan wajib dan kerja rodi
2. Penghapusan kekuasaan para bupati sebagai pemungut pajak atas rakyat
3. Adanya kebebasan bagi para petani dalam memilih tanaman-tanaman yang hendak ditanam
Pokok-pokok sistem sewa tanah
1. Semua tanah dianggap menjadi milik pemerintah kolonial, sehingga para petani yang secara de facto menggarap tanah, harus membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial
2. Besarnya sewa tanah bergantung pada tingkat kesuburan tanah tersebut
3. Penyawaan tanah berada di beberapa kawasan dilakukan menurut kontrak dan terbatas waktunya
Sistem Sewa Tanah Raffless lalu mengalami kegagalan lantaran faktor berikut:
a. Sistem feodal telah mempunyai akar yang kuat, kafe di dalam struktur sosial, politik, maupun ekonomi di Indonesia
b. Terbatasnya jumlah pegawai pemerintah yang menangani pelaksanaan sistem sewa tanah
c. Pada umumnya sistem ekonomi Indonesia masih bercorak tradisional dan subsisten(tidak mempunyai orientasi ekspor), dan belum mengenal sistem ekonomi uang.
C. Zaman Komisaris Jendral(1816-1830)
C. Zaman Komisaris Jendral(1816-1830)
Pasca konvensi Wina dan Konvensi London, wilayah yang dikuasai oleh Inggris harus dikembalikan kembali kepada Belanda. Pasca pengembalian tersebut berkuasa di Indonesia yaitu Gubernur Jendral Elout, Buyskes, dan var der Cappelen(1816-1819), van der Cappelen(1819-1826), dan komisaris Jendral du Bus de Gisignes (1826-1830). Zaman tersebut dikenal sebagai dengan Zaman Komisaris Jendral. Kebijakan yang pernah dikeluarkan selama Zaman Komisaris Jendral diantaranya:
- melanjutkan Sistem Sewa Tanah
- menumpas perlawanan Kapiten Pattimura di Maluku
- berupaya melaksanakan intervensi di Sumatera Barat dan berusaha memadamkan perlawanan disana
- berusaha mengalahkan perlawanan Perang Jawa(Perang Diponegoro) yang terjadi antara 1825-1830
D. Sistem Tanam Paksa(Cultuurstelsel)(1830-1870)
Pada tahun 1830, pemerintahan Belanda mengangkat Gubernur Jendral yang gres untuk Indonesia yaitu Johannes Van Der Bosch. Van den Bosch inilah yang lalu mengeluarkan kebijakannya yang terkenal, yaitu Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Adapun latar belakang dikeluarkannya hukum tanam paksa yaitu sebagai berikut:
- Terhentunya produksi tumbuhan ekspor selama sistem sewa/pajak tanah berlangsung
- Kosongnya kas negara akhir besarnya alokasi dana untuk menumpas perlawanan Diponegoro(1825-1830) dan Perang Kemerdekaan Belgia
- Besarnya hutang Belanda
Pokok-pokok/aturan tanam paksa
- Rakyat diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk ditanamai tumbuhan dagang/ekspor yang laris di pasaran Eropa, menyerupai tebu, kopi, nila.
- Tanahnya yang disediakan untuk penanaman dagang tersebut dibebaskan dari pajak tanah
- Nilai lebih/sisa laba dari tumbuhan dagang tersebut diberikan kepada petani
- Waktu pekerjaan menanam tumbuhan dagang dihentikan melebihi waktu penanaman padi
- Kegagalan panen atas penanaman tumbuhan dagang menjadi tanggung jawab pemerintah
- Pengawasan atas tumbuhan paksa dilakukan oleh pejabat pribumi(bupati)
Pelaksanaan sistem tanam paksa kenyataannya
- Tanaman yang diwajibkan untuk tumbuhan dagang, sering melebihi 1/5, bahkan mencapai luas tanah lahan petani
- Sisa laba dari penanaman tumbuhan dagang diambil oleh pemerintah
- Pekerjaan untuk menanam tumbuhan dagang sering melebihi waktu untuk menanam padi, sehingga areal penanaman padi rakyat menjadi terlantar
- Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
- Adanya cultuur prosentesn(presentasi keuntungan) yang diberikan kepada pengawas tanam paksa
Pemberlakuan Cultuur Stelsel/sitem tanam paksa ini telah menyebabkan imbas yang luas bagi pemerintah Belanda maupun terhadap rakyat pribumi
a. Dampak tanam paksa terhadap pemerintah Belanda
- Pendapatan pemerintah Belanda mengalami surplus
- Hutang-hutang Belanda terlunasi
- Pemerintah Belanda sanggup melaksanakan pembangunan negaranya
b. Dampak tanam paksa terhadap rakyat pribumi
- Menyempitkan luas areal penanaman padi
- munculnya tragedi kelaparan di Demak dan Grobogan akhir kegagalan panen dan wabah kelaparan
- Meluasnya bentuk kepemilikan lahan bersama (tanah milik komunal)
- rakyat pribumi mulai mengenal jenis tumbuhan ekspor dan sistem penanamannya
E. Zaman Liberal
Setelah adanya tekanan dari kelompok liberal di Belanda, menyerupai adanya kecaman Baron Van Hoevel dan Edward Douwes Dekker, dalam bukunya berjudul Max Havelaar, maka sistem tanam paksa dihapuskan. Setelah sistem tanam paksa dihapuskan, maka politik kolonial yang dipakai di Indonesia dan Jawa khususnya bercorak liberal. Pelaksanaan sistem ekonomi liberal di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraris(Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Tujuan utama undang-undang tersebut yaitu membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta, baik swasta Belanda, maupun Swasta Eropa lainnya untuk mendirikan banyak sekali perkebunan-perkebunan besar menyerupai perkebunan kopi, teh , gula, dan kina.
Undang-Undang Agraria
- Tanah Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu tanah rakyat(domein) dan tanah pemerintah(gubernemen)
- Tanah rakyat dibedakan menjadi tanah milik yang bersifat bebas, dan tanah desa untuk keperluan penduduk yang sifatnya tidak bebas
- Tanah pemerintah yaitu tanah yang bukan milik rakyat, disewakan dan sanggup dijual untuk tujuan perkebunan
Walaupun dalam keterangannya pemerintah Belanda menyampaikan bahwa UU Agraris dengan sistem liberalnya bertujuan untuk lebih menjamin kesejahteraan penduduk pribumi dengan adanya pinjaman terhadap hak milik petanai atas tanah, namun tidak sanggup dipungkiri, bahwa sistem liberal cendrung berorientasi kepada upaya memakmurkan negeri induk(Belanda) dibandingka mensejahterakan rakyat. Hal ini sanggup terlihat dari adanya beberapa imbas dilaksanakan sistem liberal di Indonesia:
- Berkembangnya perkebunan-perkebunan swasta yang tidak saja terbatas pada tanah-tanah kosong tetapi mencakup juga areal persawaahan
- Hilangnya mata pencaharian utama para petani, lantaran semakin sempitnya areal persawahan mereka
- Jatuhnya harga barang-barang konsumsi ringan dan produksi rakyat lainnya menyerupai kerajinan rakyat dan perjuangan penenunan akhir masuknya barang-barang yang berasal dari negeri Belanda
- Masuknya sistem ekonomi uang
- Munculnya kaum buruh diperkebunan-perkebunan besar. Kaum buruh ini muncul lantaran mereka telah kehilangan pekerjaan sebagai petani penggarap yang tanahnya telah dijadikan areal perkebunan
- Adanya Poenale Sanctie, yaiu hukuman atau bahaya bagi para buruh kontrak yang tidak menepati perjanjian masa kontraknya
- Makin mundurnya tingkat kesejahteraan penduduk Jawa, karea pertumbuhan penduduk yang pesat tidak sebanding dengan produksi materi makanan dan luas tanah pertanian. Hal ini pertanda bahwa sistem ekonomi liberal gagal dalam mewujudkan kesejateraan bagi rakyat pribumi
Sumber https://www.gu-buk.net
Posting Komentar untuk "Politik Kolonial Kala 19 M"