Film Propaganda Wacana Supersemar
Djakarta 1966 yaitu film dokumenter drama tahun 1988 dari Indonesia yang di sutradarai oleh Arifin C. Noer dan dibintangi oleh Amoroso Katamsi dan Umar Kayam. Film ini diproduksi oleh studio PPFN milik negara, dan dimaksudkan sebagai sekuel dari film Pengkhianatan G 30 S PKI. Kayam dan Amoroso Katamsi kembali mengambil tugas mereka dalam film sekuel ini sesudah memerankan tugas yang sama dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini memenangkan tujuh penghargaan di Festival Film Bandung 1989.
Setelah kejadian G30S yang disalahkan kepada PKI tahun sebelumnya, Presiden Soekarno (Umar Kayam) tidak segera melaksanakan penyelesaian politik yang memuaskan. Hari-hari itu Jakartadipenuhi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI. Mereka mencetuskan Tritura: pembubaran PKI, perombakan kabinet dan penurunan harga. Sewaktu keadaan makin genting, Presiden Soekarno (Umar Kayam kesannya memberi wewenang berupa Supersemar pada Letjen Soeharto (Amoroso Katamsi) untuk memulihkan keamanan negara lewat tindakan apapun yang "dianggap perlu". Berdasar kewenangan itu Soeharto memerintahkan pembubaran PKI.
Dalam Djakarta 1966, sosok Soeharto masih ditempatkan sama dengan yang ada di Pengkhianatan G30S/PKI. Ia masihlah anak buah Soekarno yang baik hati, penuh dedikasi dan pengorbanan, cinta pada pemimpin maupun pada rakyat dan negerinya. Dilihat dari kacamata model apa saja, figur Soeharto ketika itu bikin cewe cewe klepek-klepek.
Di kampus Universitas Indonesia, yang menjadi basis kegiatan aksi-aksi mahasiswa, kamera menangkap kegelisahan dan ketidakpastian yang mewarnai hari-hari itu. Harus diakui, Arifin C Noer mengetahui betul bagaimana memotret kegiatan para mahasiswa yang peduli politik tanpa kehilangan tabiat keanakmudaannya. Mereka selalu tampak terburu-buru dan dalam keadaan terdesak. Adegan-adegan intens masuk dengan penempatan kamera dan blocking, menyoroti aneka kegiatan yang ditingkahi guyonan ajaib dan celetukan sinting khas mahasiswa dengan sangat baik.
Bung Karno dalam Djakarta 1966 digambarkan sebagai sosok si Maha Gusar akhir demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda. Selain itu, demonstrasi ini juga menuntutnya dengan Tritura. Ia kolam orang renta yang tak mau dengar omongan semua orang atau permohonan ‘anak kesayangannya’, Soeharto. Ia percaya PKI tak perlu dibubarkan. Dalam pembicaraannya dengan si anak kesayangan, ia bilang bahwa membubarkan PKI itu yaitu perkara gampang, “tapi “PKI akan jauh lebih berbahaya bila dilarang.”
Bung Karno juga menantang siapapun yang sanggup menurunkan harga untuk segera memberinya ide—dan, bila berhasil, akan diangkat jadi menteri. Rasa jengkel dan murka Bung Karno kepada aksi-aksi mahasiswa bercampur dengan ketidakpercayaannya pada orang-orang terdekatnya, terutama tentara. Dalam setiap momen yang dipenuhi rasa tidak percaya itu, pihak yang kelihatannya ia percayai dan sekaligus lindungi yaitu orang-orang PKI, contohnya Subandrio. Ini bukan sesuatu mengherankan alasannya yaitu Bung Karno sendiri berideologi kiri meskipun ia percaya ia sanggup menggabungkan tiga kekuatan besar ketika itu: nasionalis, agama dan komunis (nasakom).
Di sisi lain, si anak yang ‘berbakti’, yaitu Soeharto, diperlihatkan sebagai sosok si Maha Baik yang sabar bukan main dan ngemong pada yang renta (Bung Karno) maupun yang muda (mahasiswa). Biarpun si Bung sedang marah-marah, ia sanggup menghadapinya dengan damai dan halus. Soeharto juga tampak sebagai fasilitator baik hati, yang menampung segala harapan yang ‘aman bagi bangsa dan negara’. Kepada Sukarno, ia memastikan bahwa si Bapak tak akan kehilangan mukanya sebagai pelopor NEFOSI.
Kejadian lahirnya Supersemar dimulai dengan Bung Karno menunjukkan amanat dalam sidang kabinet Dwikora. Di tengah-tengah acara, ia mendapat laporan tertulis dari Sabur bahwa ada pasukan tak dikenal mendekati istana. Demi keselamatannya, ia segera meninggalkan sidang. Bung Karno pun keluar dari istana dengan mengajak Subandrio. Sidang terpaksa dibatalkan.
Soeharto yang sedang sakit tak sanggup tiba bersidang. Ia mendapat kabar batalnya sidang itu dari tiga jenderal, Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Yusuf dan kemudian mengutus mereka untuk mendatangi Bung Karno di istana Bogor. Bung Karno yang masih diliputi kemarahan dan rasa tak percaya pada Angkatan Darat ini menemui mereka dan menyuruh mereka mengaku saja bahwa mereka menginginkan Sukarno jatuh. Tiga jenderal ini meyakinkan sang presiden bahwa tuduhan itu tidak benar. Kemudian terjadi obrolan singkat yang mengarah ke seruan keluarnya surat perintah.
Surat perintah ini, sesudah bolak-balik diperiksa dan diperbaiki konsepnya antara tiga jenderal dengan Sukarno dan para wakil perdana menterinya, diberikan ke Suharto. Ia lantas tiba ke markas Kostrad dan memberikan bahwa ia sudah mendapat mandat dari Bung Karno untuk mengamankan keadaan.
Keesokan harinya, bendera merah putih berkibar dengan wajah-wajah mahasiswa yang bergembira ria alasannya yaitu PKI sudah dibubarkan dan beberapa menteri kabinet Dwikora yang terkait PKI diamankan.
Sumber: OA Historypedia Line
Setelah kejadian G30S yang disalahkan kepada PKI tahun sebelumnya, Presiden Soekarno (Umar Kayam) tidak segera melaksanakan penyelesaian politik yang memuaskan. Hari-hari itu Jakartadipenuhi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI. Mereka mencetuskan Tritura: pembubaran PKI, perombakan kabinet dan penurunan harga. Sewaktu keadaan makin genting, Presiden Soekarno (Umar Kayam kesannya memberi wewenang berupa Supersemar pada Letjen Soeharto (Amoroso Katamsi) untuk memulihkan keamanan negara lewat tindakan apapun yang "dianggap perlu". Berdasar kewenangan itu Soeharto memerintahkan pembubaran PKI.
Dalam Djakarta 1966, sosok Soeharto masih ditempatkan sama dengan yang ada di Pengkhianatan G30S/PKI. Ia masihlah anak buah Soekarno yang baik hati, penuh dedikasi dan pengorbanan, cinta pada pemimpin maupun pada rakyat dan negerinya. Dilihat dari kacamata model apa saja, figur Soeharto ketika itu bikin cewe cewe klepek-klepek.
Di kampus Universitas Indonesia, yang menjadi basis kegiatan aksi-aksi mahasiswa, kamera menangkap kegelisahan dan ketidakpastian yang mewarnai hari-hari itu. Harus diakui, Arifin C Noer mengetahui betul bagaimana memotret kegiatan para mahasiswa yang peduli politik tanpa kehilangan tabiat keanakmudaannya. Mereka selalu tampak terburu-buru dan dalam keadaan terdesak. Adegan-adegan intens masuk dengan penempatan kamera dan blocking, menyoroti aneka kegiatan yang ditingkahi guyonan ajaib dan celetukan sinting khas mahasiswa dengan sangat baik.
Bung Karno dalam Djakarta 1966 digambarkan sebagai sosok si Maha Gusar akhir demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda. Selain itu, demonstrasi ini juga menuntutnya dengan Tritura. Ia kolam orang renta yang tak mau dengar omongan semua orang atau permohonan ‘anak kesayangannya’, Soeharto. Ia percaya PKI tak perlu dibubarkan. Dalam pembicaraannya dengan si anak kesayangan, ia bilang bahwa membubarkan PKI itu yaitu perkara gampang, “tapi “PKI akan jauh lebih berbahaya bila dilarang.”
Bung Karno juga menantang siapapun yang sanggup menurunkan harga untuk segera memberinya ide—dan, bila berhasil, akan diangkat jadi menteri. Rasa jengkel dan murka Bung Karno kepada aksi-aksi mahasiswa bercampur dengan ketidakpercayaannya pada orang-orang terdekatnya, terutama tentara. Dalam setiap momen yang dipenuhi rasa tidak percaya itu, pihak yang kelihatannya ia percayai dan sekaligus lindungi yaitu orang-orang PKI, contohnya Subandrio. Ini bukan sesuatu mengherankan alasannya yaitu Bung Karno sendiri berideologi kiri meskipun ia percaya ia sanggup menggabungkan tiga kekuatan besar ketika itu: nasionalis, agama dan komunis (nasakom).
Di sisi lain, si anak yang ‘berbakti’, yaitu Soeharto, diperlihatkan sebagai sosok si Maha Baik yang sabar bukan main dan ngemong pada yang renta (Bung Karno) maupun yang muda (mahasiswa). Biarpun si Bung sedang marah-marah, ia sanggup menghadapinya dengan damai dan halus. Soeharto juga tampak sebagai fasilitator baik hati, yang menampung segala harapan yang ‘aman bagi bangsa dan negara’. Kepada Sukarno, ia memastikan bahwa si Bapak tak akan kehilangan mukanya sebagai pelopor NEFOSI.
Kejadian lahirnya Supersemar dimulai dengan Bung Karno menunjukkan amanat dalam sidang kabinet Dwikora. Di tengah-tengah acara, ia mendapat laporan tertulis dari Sabur bahwa ada pasukan tak dikenal mendekati istana. Demi keselamatannya, ia segera meninggalkan sidang. Bung Karno pun keluar dari istana dengan mengajak Subandrio. Sidang terpaksa dibatalkan.
Soeharto yang sedang sakit tak sanggup tiba bersidang. Ia mendapat kabar batalnya sidang itu dari tiga jenderal, Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Yusuf dan kemudian mengutus mereka untuk mendatangi Bung Karno di istana Bogor. Bung Karno yang masih diliputi kemarahan dan rasa tak percaya pada Angkatan Darat ini menemui mereka dan menyuruh mereka mengaku saja bahwa mereka menginginkan Sukarno jatuh. Tiga jenderal ini meyakinkan sang presiden bahwa tuduhan itu tidak benar. Kemudian terjadi obrolan singkat yang mengarah ke seruan keluarnya surat perintah.
Surat perintah ini, sesudah bolak-balik diperiksa dan diperbaiki konsepnya antara tiga jenderal dengan Sukarno dan para wakil perdana menterinya, diberikan ke Suharto. Ia lantas tiba ke markas Kostrad dan memberikan bahwa ia sudah mendapat mandat dari Bung Karno untuk mengamankan keadaan.
Keesokan harinya, bendera merah putih berkibar dengan wajah-wajah mahasiswa yang bergembira ria alasannya yaitu PKI sudah dibubarkan dan beberapa menteri kabinet Dwikora yang terkait PKI diamankan.
Sumber: OA Historypedia Line
Sumber https://www.gu-buk.net
Posting Komentar untuk "Film Propaganda Wacana Supersemar"