Sejarah Angkringan
Angkringan ini identik dengan Nasi Kucing (nasi ditambah dengan sambal teri atau oseng yang dibungkus kecil). Rata-rata harganya hanya Rp.1000-2000,-/bungkus. Pasti siapapun yang pernah tiba ke Jogja pernah melihat atau malah sering nongkrong dan makan di sini. Tahu ga sih bagaimana asal usul angkringan? Yuk disimak.
Angkringan yaitu sebuah gerobak dorong untuk menjual banyak sekali macam masakan dan minuman di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Jogyakarta. Di Solo angkringan dikenal sebagai warung hik (Hidangan spesial a la Kampung) atau wedangan.
Kata angkringan mempunyai dua asal usul yang bertama yaitu angkring yang berarti alat dan daerah jualan masakan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Versi kedua asal kata angkringan yaitu Angkring yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Di Jawa, hal ini disebut "Metangkling".
Mbah Pairo, merupakan pencetus atau nenek moyangnya Warung Angkringan. Mbah Pairo yaitu seorang pendatang dari Cawas pada tahun 1950-an. Karena pada waktu itulang wilayah Cawas, Klaten merupakn wilayah yang tandus dan tidak subur sehingga tidak ada yang dapat diperlukan untuk menyambung hidup. Hingga hasilnya Mbah Pairo pergi untuk mencari peruntungan di daerah lain dan sampailah dia di Kota Jogja.
Akhirnya dengan sebuah pikulan sebagai alatnya alasannya yaitu pada waktu itu belum ada gerobak menyerupai yang ada ketika ini dia mulai menjajakan nasi yang kini lebih terkenal dengan sebutan Nasi Kucing. Dari sinilah Sejarah Warung Nasi Kucing atau Angkringan Jogja dimulai. Bertempat di plataran Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada waktu itu angkringannya dikenal dengan sebutan Ting-Ting Hik (dibacanya: Hek) alasannya yaitu dia selalu berteriak “Hiiik…Iyeek” ketika menjajakan dagangannya. Istilah HIK yaitu nama yang kini dikenal di Solo menyerupai yang diatas kita uraikan tadi. Angkringan Mbah Pairo semakin berkembang dan pada tahun 1969 diteruskan oleh Lik Man, putra Mbah Pairo.
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, kuli bangunan, pegawai kantor, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif.
Angkringan yaitu salah satu bentuk usaha seseorang dalam menghadapi kemiskinan. Artinya adalah, dalam keadaan yang serba kesusahan dan modal yang seadanya tapi tetap berjuang untuk mendirikan sebuah usaha dan memenuhi kebutuhan hidup.
sumber: OA Historypedia Line
Angkringan yaitu sebuah gerobak dorong untuk menjual banyak sekali macam masakan dan minuman di pinggir jalan di Jawa Tengah dan Jogyakarta. Di Solo angkringan dikenal sebagai warung hik (Hidangan spesial a la Kampung) atau wedangan.
Kata angkringan mempunyai dua asal usul yang bertama yaitu angkring yang berarti alat dan daerah jualan masakan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Versi kedua asal kata angkringan yaitu Angkring yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Di Jawa, hal ini disebut "Metangkling".
Mbah Pairo, merupakan pencetus atau nenek moyangnya Warung Angkringan. Mbah Pairo yaitu seorang pendatang dari Cawas pada tahun 1950-an. Karena pada waktu itulang wilayah Cawas, Klaten merupakn wilayah yang tandus dan tidak subur sehingga tidak ada yang dapat diperlukan untuk menyambung hidup. Hingga hasilnya Mbah Pairo pergi untuk mencari peruntungan di daerah lain dan sampailah dia di Kota Jogja.
Akhirnya dengan sebuah pikulan sebagai alatnya alasannya yaitu pada waktu itu belum ada gerobak menyerupai yang ada ketika ini dia mulai menjajakan nasi yang kini lebih terkenal dengan sebutan Nasi Kucing. Dari sinilah Sejarah Warung Nasi Kucing atau Angkringan Jogja dimulai. Bertempat di plataran Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada waktu itu angkringannya dikenal dengan sebutan Ting-Ting Hik (dibacanya: Hek) alasannya yaitu dia selalu berteriak “Hiiik…Iyeek” ketika menjajakan dagangannya. Istilah HIK yaitu nama yang kini dikenal di Solo menyerupai yang diatas kita uraikan tadi. Angkringan Mbah Pairo semakin berkembang dan pada tahun 1969 diteruskan oleh Lik Man, putra Mbah Pairo.
Lik Man yaitu pedagang Nasi Angkringan yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu dan sempat beberapa kali berpindah lokasi. Menu Angkringan dijual dengan harga yang terbilang murah, salah satu faktor inilah yang menciptakan semakin banyak peminatnya. Rata-rata hidangan Angkirngan yaitu nasi kucing, gorengan, sate usus, sate telur puyuh, keripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam menyerupai teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu.
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, kuli bangunan, pegawai kantor, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif.
Angkringan yaitu salah satu bentuk usaha seseorang dalam menghadapi kemiskinan. Artinya adalah, dalam keadaan yang serba kesusahan dan modal yang seadanya tapi tetap berjuang untuk mendirikan sebuah usaha dan memenuhi kebutuhan hidup.
sumber: OA Historypedia Line
Sumber https://www.gu-buk.net
Posting Komentar untuk "Sejarah Angkringan"