Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Indonesia Menggugat!

Soekarno dkk. sehabis membacakan pledoinya

Waktu itu suasana Hindia-Belanda masih panas pasca pemberontakan PKI tahun 1926. Sebuah pemberontakan antikolonial yang dimotori oleh PKI tersebut menemui kegagalan. Para simpatisan PKI sebagian kabur ke luar negeri, dan sebagian lagi tertangkap dan dibuang ke Digul.

PKI sudah habis, namun muncul gerakan antikolonial gres yang dimotori oleh PNI. sebuah gerakan antikolonial yang hampir menyerupai dengan yang dilakukan PKI. Namun, gerakan PNI lebih terstruktur dan sistematis.

Tujuan gerakan ini yaitu menyebabkan Indonesia merdeka - SEKARANG. serta merebut kekuasaan politik dari tangan kolonial. Serangkaian agenda pun dikeluarkan oleh PNI.

Tahun 1928, PNI menyebutnya sebagai 'tahun propaganda'. Di tahun ini PNI mulai gencar untuk menyuarakan propaganda mereka. Mulai dari kaum intelektual hingga rakyat kecil mereka susupkan propaganda demi propaganda. Dalam hal ini, Soekarno muda muncul sebagai 'Singa Podium' lantaran kemampuannya yang mahir dalam berpidato dihadapan khalayak ramai. PNI juga mendirikan sekolah-sekolah dan kursus-kursus untuk menancapkan propaganda mereka serta merangkul massa.

Berlanjut ketahun berikutnya, 1929. PNI mulai memanen benih yang ia tanam, kini PNI sudah mulai menggerakkan massanya. Lantaran semakin radikal, pemerintah kolonial mulai bertindak, semua rapat dan pertemuan yang diadakan PNI harus diawasi oleh pasukan bersenjata kolonial.

Namun, hal itu tak menciptakan usaha PNI putus. Dengan diplomasi yang baik, PNI berhasil mengajak para kekuatan politik nasional untuk bersatu, baik yang radikal maupun moderat. PNI membentuk Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI).

Pembentukan PPKI sangat menciptakan Belanda khawatir. Maka dari itu, untuk menghentikan gerakan PNI, Belanda menangkap para pemimpin PNI, dengan tuduhan bahwa PNI ingin memberontak. Soekarno dkk. berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara Bantjeuj.

Penjara daerah Soekarno mendekam


Soekarno dkk. resmi ditangkap pada selesai 1929, tepatnya 30 Desember 1929. Soekarno sendiri dipenjarakan disebuah daerah yang berukuran 1,5 x 2,5 meter. Ia sangat terisolasi di penjara, tidak tahu perkambangan dunia luar, tidak boleh membaca buku. Namun, berkat Inggit (istrinya), Soekarno sanggup mengetahui sedikit perkembangan dunia luar, serta Inggit pula yang berhasil menyeludupkan buku bacaan untuk Soekarno.

Pengadilan terus berjalan, namun ada yang menarik saat Soekarno membacakan pledoi nya pada 1 Desember 1930. Alih-alih Soekarno akan mati kutu di pengadilan, justru pengadilan ia ubah menjadi panggung politiknya. Ia membacakan pledoi yang berjudul "Indonesia Menggugat". Isinya cukup menusuk para penjajah yang mendengarnya.

Inti dari pidato itu adalah; Pergerakan, pemberontakan, dsb. lahir bukan lantaran hasutan kaum intelektual. Pergerakan lahir yaitu alamiah lantaran penderitaan rakyat yang tak tertahankan.

Akhirnya Soekarno dkk. dieksekusi penjara selama 4 tahun.

Berikut cuplikan Pidato Indonesia Menggugat :

Sumber : Berdikari Online

Penasaran:
INDONESIA MENGGUGAT


Pergerakan tentu lahir Toh…diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat,- tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, niscaya balasannya berbangkit, niscaya balasannya bangun, niscaya balasannya menggerakan tenaganya, kalua ia sudah terlau sekali mencicipi celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu begerak berkeluget-keluget kalau mencicipi sakit! Seluruh riwayat dunia yaitu riwayat golongan-golongan insan atau bangsabangsa yang bergerak menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, berdasarkan perkataan Herbert Spencer, yaitu riwayat “reactief verzet van verdrukte elementen”! Kita ingat pergerakan Yesus Kristus dan agama Nasrani yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi daan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat usaha rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan Sapnyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi kewargaan (burgerlijke democratie) yang menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada selesai masa ke-18 dan awal masa ke-19 dari tindasan autokrasi dan absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan tahta kapitalisme; kita mengetahui pergerakan Mesir di bawah pimpinan Arabia dan Zaglul Pasha beserta pergerakan rakyat India di bawah pimpinan Tilak atau Gandhi melawan ketamakan asing; kita mengetahui usaha rakyat tiongkok menjatuhkan absolutisme Mancu dan melawan imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme asing, – tidaklah ini memang sudah terbawa oelh hakekat keadaan, tidaklah ini memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu zelfbehoud yang ada pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa, tidaklah ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte elemeten” itu? Rakyat Indonesia pun kini semenjak 1908 sudah berbangkit; nafsu menyelamatkan diri kini semenjak 1908 sudah menitis juga kepadanya!

Imperialisme modern yang mengaut-ngaut di Indonesia itu, imperialisme-modern yang membuatkan kesengsaraan di mana-mana itu, – imperialisme-modern itu sudah menyinggung dan membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seperti tak bernyawa, raksasa Indonesia itu kini sudah berdiri tegak dan sudah memasang tenaga! Saban kali ia mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tetapi saban kali pula ia tegak kembali! Sebagai memiliki kekuatan rahasia, sebagai memiliki kekuatan penghidup, sebagai memiliki aji-pancasona dan aji candrabirawa, ia tidak bisa dibunuh dan malah makin usang makin tak terbilang pengikutnya! Amoi, – di manakah kekuatan duniawi yang bisa, memadamkan semangat suatu bangsa, dimanakah kekuatan duniawi yang bisa menahan bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah kekuatan duniawi yang bisa membendung banjir yang digerakkan oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri! Di manakah kebenaran jeritan anggota-anggota dan sahabat-sahabat imperialisme yang menyampaikan ini ialah bikinan beberapa kaum “penghasut”, yakni kaum “opruiers”, kaum “raddraaiers”, kaum ophitsers” dan lain sebagainya dan yang oleh karenanya sama menerka bahwa pergerakan itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua dimasukkan bui, dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya, ribuan “penghasutnya” “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang, – tetapi adakah pergerakan itu berhenti, adakah pergerakan itu mundur, tidaklah pergerakan yang umurnya gres ± 20 tahun itu malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum? 

“Man tötet den Geist nicht”, begitulah Freiligrath menyairkan, – “Orang tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yakni sebelum di sini ada “ophitsers”, sebelum di sini ada “raddraaiers”, Ir. Van Kol sudang mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian : “Teruslah….. hingga sekali waktu tiba akhirnya; sekali waktu, siapa tahu entah kapan, niscaya meledak kekuatan rahasia” Dan sesungguhnya, “kekuatan rahasia” itu sudah meledak! Seluruh dunia kini melihat bangun dan bergeraknya kekuatan diam-diam itu! Seluruh dunia yang tidak sengaja menbuta-tuli, mengertilah, bahwa kekuatan diam-diam itu buka bikinan manusia, tetapi bikinan pergaulan hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang nrimo hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah antithese imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinan “penghasut”, bukan bikinan “opruiers”, bukan bikinan “raddaaiers”, bukan bikinan “ophitsers”- pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat! 

Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer memperingatkan : “Diantara mereka, yang berkewajiban atau merasa wajib membicarakan peristiwa-peristiwa zaman di muka umum, ada yang bahagia menggambarkan pergerakan Bumiputera dan perkembangannya sebagai hasil fikiran-fikiran revolusioner Barat dan yang menerka bahwa pergerakan itu bisa ditindas dengan jalan menghadapinya dengan budi pemerintah yang keras dengan mengerahkan polisi dan justisi melawan propaganda-propagandanya. Pemandangan dan seni administrasi yang demikian itu sangat dangkal dan mengambarkan bahwa mereka tidak punya pengertian sejarah dan tidak punya pengertian politik…..Pergerakan yang demikian itu terlahir dari keadaan-keadaan masyarakat dan dari perubahan-perubahan yang dialaminya. Pergerakan demikian itu juga akan lahir dan juga akan tumbuh, meskipun tidak pernah seorang Eropa yang revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia. Pergerakan demikian itu, tumbuh terus, meskipun semua pemimpin dan propagandanya dibasmi. Seperti juga dalam masa ke-16 pergerakan kerkhevorming tidak berhenti dengan memburu-buru kaum bi’dah, menyerupai juga dalam masa ke-19 demokrasi-sosial tidak bisa dihancurkan oleh politik penindasan dengan kekerasan oleh Bismarck, begitu pula dalam masa ke-20 pergerakan Bumiputera tidak bisa didorong ke belakang, bahkan tidak bisa diberhentikan oleh budi pemerintah yang reaksioner. Pergerakan itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-ragukan, bahwa ia akan mencapai cita-citanya, yakni memerdekakan penduduk Hindia dari penjajah asing!……”

Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O, itu pemandangan kaum sosialis!” Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr. Kraemer, seorang yang bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien” “Di sinilah juga letaknya keterangan, mengapa orang salah sangka sama sekali, apabila orang menyangka, bahwa apa yang disebut kebangunan dunia Timur itu, atau di dalam lingkungan kita sendiri: pergerakan Bumiputera itu, hanya menjadi soal suatu lapisan intelektual yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau “rakyat murba yang membisu itu” juga ikut mendidih dalam kancah pergolakan itu”, dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh juga bukan kaum pembuta tuli mengikuti sesuatu kepercayaan, tempo hari berkata : “Sumbernya” ….. dulu dan sekarang, bukan pemupukan beberapa ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak mendapat pendidikan Barat dan tidak bisa ditampung oleh masyarakat Bumiputera, tapi rasa perlawanan di mana-mana terhadap penjajah oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa perlawanan yang kadang kala tampak keluar dan kadang kala tinggal terbenam………” Bahwasanya, matahari bukan terbit lantaran ayam jantan berkokok, ayam jantan berkokok lantaran matahari terbit! 

Dan dengan sedikit perubahan, maka kami di sini, bagi kaum-kaum yang masih saja menerka bahwa pergerakan itu bikinan “penghasut”, mengobarkan lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang termashus itu, di dalam dewan rakyat Prancis terhadap wakil-wakil kaum modal : “Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya Tuan-tuan hingga tersilaukan mata, dan menyampaikan bahwa evolusi universal ini terjadi lantaran perbuatan beberapa orang saja! Tidaklah terkena hati Tuan-tuan oleh luasnya pergerakan kebangsaan sehingga terdapat di seluruh muka bumi? Di mana-mana, di semua negeri yang tidak merdeka, ia mucul pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun kemudian ini, mustahil lagi menggambarkan sejarah Mesir, India, Tiongkok, Filipina dan Indonesia dengan tidak juga menceritakan riwayat pergerakan nasional. 

Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat-rakyat Asia ini, rakyat-rakyat yang sangat berbeda satu sama lain, dalam iklim mana pun mereka itu hidup, termasuk bangsa apa pun mereka itu, – di hadapan pergerakan yang demikian itulah Tuan-tuan bicara perihal beberapa orang penghasut yang bertindak sendiri-sendiri. Tapi dengan menuduh menyerupai itu Tuan-tuan terlalu memberi penghormatan kepada orang-orang yang Tuan tuduh, Tuan-tuan menganggap terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-tuan sebut penghasut itu. Bukanlah pekerjaan mereka sendiri meletuskan pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan nafas lemah dari beberapa verbal insan tidak cukup untuk meletuskan tofan bangsa-bangsa Asia ini! Tidak, Tuan-tuan, yang bergotong-royong ialah: pergerakan ini timbul dari sentra kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari penderitaan-penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan hingga kini tidak menghubungkan diri satu sama lain, tapi mendapat kata semboyannya dalam semboyan menyerukan merdeka. Yang bergotong-royong ialah, bahwa juga di Indonesia pergerakan nasional itu terlahir dari imperialisme yang di dewa-dewakan oleh Tuan dan tidak kurang-kurangnya dari system drainage ekonomi yang semenanjak berabad-abad bekerja di negeri itu……Imperialisme itulah penghasut yang besar, imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh berontak : lantaran itu bawaalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakimi!” Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakimi!"

Toh…… bukan imperialisme, bukan anggota-anggota imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trip, bukan Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa, bukan Wormser, yang kini berada di muka mahkamah Tuan-tuan Hakim, – tetapi kami: Gatot Mangkoepradja Maskoen, Soepriadinata, Sukarno! Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal-hal yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih terang kami terangkan. Kami oleh lantaran itu, memang mengharap-harap dan menunggu-nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas, mengharap-harap moga-moga Tuantuan mengambil keputusan vrijspraak adanya! 

Tetapi, Tuan-tuan Hakim, marilah kami melanjutkan punya pidato pembelaan. “ratu Adil”, Heru Cakra”, dan lain sebagainya Pergerakan rakyat Indonesia bukanlah bikinan kaum “penghasut”. Juga sebelum ada “penghasut itu, juga sonder ada “penghasut” itu, udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan mencicipi kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa keinginan menghidarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-puluh tahun udara Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang demikian itu. Sejak berpuluhpuluh tahun rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan didalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantram yang bisa menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong kain kepadanya. 

Haraplah fikiran, Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya hingga hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat, – apakah sebabnya seringkali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang Wali-sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh lantaran hati rakyat yang menangis itu, tak berhenti-hentinya, tak habi-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan tiba pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak berhenti-hentinya pula saban jam, saban. Menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharapharap : “kapan, kapankah matahari terbit?” O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini, siapa yang mengerti akan diepere onderground dari kepercayaan rakyat ini

Sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje di dalam brosurnya “Vergeten Jubiles” , tentu duka dan ikut menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar bunyi rakyat meratap : “kapan, kapankah Ratu Adil datang?”- tentu duka dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat meyerahkan diri ke dalam tangan seorang kiai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Ckra” atau “Ratu Adil “! “Selama kaum intelek Bumiputera belum bisa mengemukakan keberatn-keberatan bangsanya, maka” Perbuatan-perbuatan yang mendahsayatkan” itu (yakni pemberontakan, Sk.) yaitu peledakan yang sewajarnya dari kemarahan yang disimpan-simpan dan perlawanan yang ditekan-tekan terhadap usaha yang kurang pintar untuk memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sunggu-sungguh keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentinagan mereka dan membikinnya jadi pedoman. 

Sebagaimana kini golongan-golongan besar dari bangsa Bumiputera senantiasa bersedia untuk dengan terus terang memihak kepada salah seorang intelektual bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang” untuk mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka seringkali suka mengikuti pemimpin pemimpin yang menjanjikan kepada mereka kemerdekaan yang bisa diperoleh dengan jalan diam-diam dan dengan cara-cara rahasia, atau yang dengan cara sembunyi mengerahkan tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana ada kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang demikian itu sia-sia saja, lantaran alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak cukup, mereka tidak mengerti, dan demikianlah mereka menganggap setiap orang yang menjanjikan kepada mereka Ratu Adil , atau Mahdi atau pemerintah yang adil, yaitu Nabi. Syarat-syarat hidup yang perlu, yang berdasarkan perasaannya tidak diberikan kepadanya oleh alam, oleh jalannya keadaan yang biasa, atau oleh penjajah asing, mereka coba mencapainya dengan jalan mistik yang luar biasa… dengan kepercayaan akan mendapat pemberian Tuhan,” begitulah kata Prof. Snouck Hurgronje. 

Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin dari kepercayaan umum dan harapan umum atas kedatangan Ratu Adil Atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka mendapat efek itu ialah, hanya oleh lantaran rakyat umum hatinya memang menangis mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru Cakra itu, maka kami yang disebut “penghasut” bukanlah pula pembikin pergerakan rakyat kini ini dan bukanlah pula efek kami itu terjadinya ialah oleh lantaran licinnya kami punya pengecap atau tajamnya kami punya pena. Pengerakan rakyat yaitu bikinan kesengsaraan rakyat, efek kami di atas rakyat yaitu pula bikinan kesengsaraa rakyat! Kami hanyalah mengambarkan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin mmembanjiritu; – kami hanyalah mengambarkan tempat-tempat yang harus dilalui oleh banjir itu, semoga supaya itu bisa dengan sesempurna-sesempurnanya mencapai Luatan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya….





Sumber https://www.gu-buk.net

Posting Komentar untuk "Indonesia Menggugat!"