Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Meragui

Melalui penelitian LIPI ke kampus- kampus, Anas Saidi dan kawan-kawan menemukan bahwa mahasiswa bidang IPA di pendidikan umum (nirkeagamaan) lebih rentan terindoktrinasi (CNN Indonesia, 18/2/2016). Senada dengan itu, sebelumnya M Zaid Wahyudi menyatakan bahwa anak- anak yang terbujuk radikalisme keliru ini umumnya dari sekolah atau perguruan tinggi tinggi favorit dan kegiatan eksakta (Kompas Siang, 13/4/2015).
Bagaimana menjelaskan fenomena menentang intuisi ini? Bukankah sejatinya pembelajaran IPA justru menyuburkan rasionalitas? Tak mungkinkah ada yang keliru dalam praktik pendidikan IPA di Tanah Air?
Keadaan seseorang yang gampang terbujuk dan memercayai sesuatu, walau gotong royong meragukan, diistilahkan sebagai credulous. Keadaan credulousini mempunyai penangkal alami, yaitu kebiasaan berakal, antara lain perangai skeptis atau meragui.
Dalam beberapa model pendidikan, meragui sudah dicanangkan secara eksplisit dan terstruktur sebagai salah satu sasaran. Misalnya, pada dokumen Benchmark Online, yang disusun American Association for Advancement of Science, dirumuskan secara khusus perangai meragui ini hingga tahap operasional membelajarkannya. Sebagai ilustrasi, di kelas VIII, pelajar dibutuhkan sudah cekatan ”meragui klaim penelitian yang didasarkan pada populasi sampel terlalu kecil” atau ”meragui pernyataan yang didasarkan pada analogi semata”.
Kebiasaan meragui juga semakin relevan di kehidupan kini alasannya hari ini insan bukan kekurangan informasi, tetapi justru kebanjiran informasi. Menghadapi situasi ini, membuka pikiran pada suatu informasi perlu dibarengi dengan mensyaki informasi itu alasannya informasi belum tentu benar. Harus siap mendapatkan suatu pendapat kalau nanti benar, tetapi juga harus tetap meragui alasannya mungkin menurut argumen yang lemah. Pasangan dua kutub ini merupakan komponen penting dalam keterampilan menanggapi-secara-kritis yang sejatinya bertumbuh subur melalui pembelajaran IPA, khususnya.
Matematikawan dan filsuf Rene Descartes menggagas pijakan kebersahajaan ilmiah berupa pengukuhan bahwa setiap pendapat kita berpeluang salah. Rangkaian argumen yang mendasari pendapat kita mungkin ada yang tak sahih.
Karena itu, insan perlu terus mencari keraguan masuk budi yang mendasari pada pendapatnya melalui tahap meragui, dan kemudian memperbaikinya. Descartes membahasakannya ”untuk mencapai kepastian ... kibaskan tanah dan pasir sehingga berpijak pada batu”.
Kebijaksanaan si subyek
Proses meragui tidak hanya akan memperkukuh pendapat, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan si subyek. Ini sebuah pesan bahwa budbahasa diekspresikan dari dalam pengalaman berilmupengetahuan sendiri, bukan diindoktrinasi dari luar ke dalam ilmu pengetahuan.
Kebersahajaan ini berwujud pengukuhan atas adanya keterbatasan kepastian sebuah pendapat. Jika pengalaman meragui dibarengi kegiatan berpikir reflektif atau tafakur, subyek menyadari bahwa masih ada bab dalam pengetahuannya yang patut diragui. Akan bertumbuh pemahaman bahwa pendapat dirinya belum sempurna, sedangkan pendapat orang lain mungkin sanggup melengkapi pendapatnya.
Sebaliknya, kalau tahap meragui ini bolos dalam pengajaran IPA kemudian ditambah lagi pengajarannya dogmatis, maka lengkaplah pelajaran IPA menjadi kumpulan mantra sakral yang tabu disangsikan. Kemudian alasannya hakikat IPA yang memang universal, pelajar mungkin akan tergiur menganalogikan kepastian mutlak berpikirnya, termasuk cara pandang hitam-putih, pada banyak sekali fenomena dalam kehidupan.
Dampaknya, watak menutup diri menguat alasannya keyakinan bahwa apa yang dipahaminya sudah benar mutlak serta semua pendapat berbeda darinya niscaya salah. Ini yang akan memunculkan benih intoleransi dan takut pada perbedaan. Perlu diselidiki lebih jauh kalau pendekatan pengajaran IPA dogmatis itu yang melahirkan fenomena menyerupai yang ditemukan penelitian LIPI di atas.
Strategi
Pembelajaran bernalar, termasuk kebiasaan berilmu di atas, dalam sistem pendidikan di RI memang membutuhkan pembenahan fundamental dan segera. Berikut diajukan dua pendekatan membenahinya semoga tepat sasaran, segera, dan hemat.
Sudah disadari bahwa membuat dokumen pendidikan semacam standar, kurikulum, dan buku didik bermutu setara dengan yang telah dibentuk lembaga di beberapa negara lain sulit dan membutuhkan waktu tak sebentar. Padahal, menunggu perbaikan dokumen pendidikan merupakan kemewahan yang tak dimiliki bawah umur kita hari ini.
Karena itu, pertama, pendekatan rekayasa mundur yang jamak dipakai di bidang industri manufaktur sanggup dicoba diterapkan guna merekacipta kegiatan pendidikan. Setidaknya, untuk mata pelajaran yang universal, menyerupai Matematika, IPA, dan Pendidikan Jasmani, rancangan pembelajarannya sanggup dikembangkan dari dokumen tumpuan yang terbukti baik dan sudah banyak dibentuk lembaga atau negara lain. Justru cerdas menerapkan taktik memakai apa yang sudah dikerjakan pihak lain kemudian memodifikasinya sehingga lebih baik sekaligus sesuai dengan keadaan Indonesia.
Kita perlu mengurangi kegemaran mengulang bekerja menemukan lagi sesuatu yang gotong royong sudah jamak. Terlebih, kerap ”roda” yang diciptakan juga tak lebih baik ketimbang ”roda” yang sudah ada.
Pada sisi lain, dokumen pendidikan, menyerupai kurikulum dan buku didik yang jelas-jelas masih keliru, amat tak etis disajikan kepada anak kita sendiri. Seperti tak ada ibu atau ayah yang menyuapkan masakan rusak bagi anaknya, demikian pula tak sepatutnya negara menerapkan kurikulum atau buku didik tak baik kepada warganya.
Kedua, melalui lembaga maya, pendidik sanggup disebarkan penemuan dan praktik pembelajaran yang mengetengahkan cara mengelola kelas dalam menumbuhkan kebiasaan berilmu dalam video klip 5-menitan. Ini akan lebih menyasar tepat pada inti permasalahan pendidikan, segera, terencana, sekaligus hemat.
Tiap pelajar akan mencicipi eksklusif perbaikan pendidikan ketimbang pendekatan training guru lewat tatap muka yang mahal, rumit, bertele-tele, boros waktu, serta keterbatasan instruktur andal.
Membelajarkan kebiasaan berilmu dan kecakapan bernalar, secara umum, bukan sesuatu yang mustahil, bahkan di tingkat SD. Dari yang paling sederhana, menyerupai guru mengajak mendiskusikan banyak sekali jalan berbeda untuk menuntaskan suatu dilema dan mengkaji banyak sekali cara pandang berbeda terhadap suatu isu, sanggup diterapkan semoga pelajar membiasakan diri dengan keberagaman pendapat serta pemikiran.
Mengedepankan budi serta menyuburkan perangai ingin tahu, kejujuran, terbuka, dan meragui akan menjamin perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus membela Republik Nalar.
IWAN PRANOTO, GURU BESAR ITB; ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA, NEW DELHI, INDIA

Sumber https://www.gu-buk.net

Posting Komentar untuk "Meragui"